Bangkai Kegelapan
BANGKAI KEGELAPAN
Cerpen:
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Bagaimana pun hidup harus dipandang lebih ke
depan. Ini berarti hidup harus dimulai lagi. Berjalan di atas bayangan masa
silam yang mengharubirukan, tidak boleh dibiarkan berlanjut sampai terbawa
ajal. Tidak! Ia musti dikubur. Dan, kuburan itu musti dibikin secara baik agar
bangkai yang tertanam di dalamnya tidak mampu menyemprotkan bau. Begitu
keputusan Fil. Janda lusuh yang baru saja terpancar sinar keinginan hidup lebih
baik dari wajahnya. Matanya.
Setelah setahun ditinggal mampus suaminya,
Fil memang berubah drastis gaya
hidupnya. Ia tidak saja terasing dari lingkungannya, melainkan dengan berani
mengasingkan diri, juga dari semua kerabatnya dan lingkungan keluarganya. Fil
menghabiskan sehari-harinya di sebuah kamar -- di rumah mertuanya -- yang
pengap. Ia menciptakan penjara bagi dirinya sendiri.
Kalau waktu makan datang, setiap pengantar
makanan itu hanya sampai pada lubang pintu kamar yang sengaja dibuat Fil.
Begitu tangan pengantar makanan menjalar, Fil segera mengambilnya dengan cara
merapatkan badan ke samping pintu. Sulit memang untuk melihat bagaimana
sesungguhnya Fil. Apakah masih montok? Cantik? Lincah? Ataukah sudah ..ah!
Lalu, bagaimana pula kalau berak? Mudah. Tahinya selalu dibungkus koran. Ia
cebok persis orang bule. Tahinya dibuang lewat jendela kamarnya yang juga
diberi lubang.
Telah berkali-kali mertua Fil memohon
kepadanya agar keluar dari kamarnya. Buat apa menyiksa diri. Tapi ia tak
peduli. Bahkan, ketika orang tuanya meminta hal serupa, juga tak ditanggapinya.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Pernah terjadi ketegangan yang luar biasa.
Waktu itu, mertua dan orang tua Fil mengancam akan bunuh diri bersama kalau Fil
masih saja mengurung diri. Namun, apa kata Fil? "Kalian mau bunuh diri
kek, mau telanjang bulat kek, mau menangis sampai keluar air mata darah kek,
mau membom rumah ini kek, saya tidak akan beranjak dari kamar ini."
Mertua dan orang tua Fil malah jadi frustasi.
Akhirnya mereka hanya mampu melawan ulah Fil dengan cara mendiamkan Fil,
kendati pada dasarnya mereka gelisah sungguh. "Kita harus menguji kekuatan
kita," tegas orang tua Fil yang disetujui sang mertua.
* * *
Ini adalah sore yang bersih. Tak seperti
biasa. Fil mengatur kamarnya. Foto-foto perkawinannya dibersihkan dan dipajang
di dinding dengan amat teratur. Ia pasang seperti putih pada ranjang tidurnya.
Ia atur meja belajar. Ia atur segala tetek-bengek yang dianggapnya membuat
sumpek. Ia menjadi begitu feminin.
Setelah selesai, ia melangkah ke depan
cermin. Ia pandangi wajah dan seluruh tubuh. Ia bergaya mirip peragawati. Ia
sendiri sebetulnya merasa aneh. Mungkin, sekarang ia betul-betul sudah tidak
lagi waras. Mungkin. Tapi, kemudian keanehan itu segera dilenyapkan. "Saya
tidak gila. Dan, tidak ada yang gila di dunia ini," katanya di depan
cermin. Lalu, ia tersenyum. Manis.
Fil duduk di kursi jendela kamar rumahnya
yang tidak seberapa besar itu. Lewat lubang jendela yang dibuatnya itu, ia
pandangi sebuah ranting patah yang bergelayutan. Ia biarkan wajahnya diterobos
matahari sore.
Malam perkawinan itu kembali muncul. Fil
bahagia. Semua orang yang hadir juga bahagia. Fil merasa harapan yang tadinya
tak menentu, kembali menjadi utuh. Betapa tidak? Tiga hari menjelang
perkawinan, Paimin -- calon suaminya -- datang. Menurut pengakuan Paimin, ia
dibebaskan dari segala tuduhan merampok dan membunuh. "Tuhan memang selalu
melindungi orang yang tidak bersalah. Tuhan telah membuka mata dari jaksa
penuntut dan pembela, juga hakim," tutur Paimin mantap di tengah peluk
tangis Fil menyambut kedatangannya.
Paimin ditangkap pihak berwajib karena
tuduhan membunuh haji Sukron dalam suatu perampokan tengah malam di rumah
juragan penggilingan padi itu. Entah perasaan apa yang tertanam di hati
perampok itu, tiba-tiba para tetangga melihat ada bercak darah yang menempel di
pintu dan jendela rumah Paimin.
Tentu saja para tetangga jadi ribut. Panik.
Apalagi tetangga yang suka usil, tanpa membuang waktu segera menggedor rumah
Paimin. Seperti kena setan kesiangan para tetangga lainnya menyerbu masuk.
Paimin yang terjaga dari tidurnya itu jadi kalang kabut. Ia coba menanyakan
kesalahannya, tapi tampaknya para tetangga tidak lagi peduli. Mereka, terus
menyeret Paimin ke pos Hansip. Bukan itu saja, ketika Paimin digiring,
tangan-tangan usil pun tak bisa dihindari. Wajah Paimin babak-belur. Dan,
sampai hati mereka membugili mangsanya itu.
Paimin ditangkap. Kasusnya diperiksa oleh
polisi. Baru belakangan diketahui bahwa Paimin tidak bersalah. Koran-koran
laris keras.
Paimin memang nganggur, kendati sebulan lagi
ia akan naik pelaminan bersama Fil. Bermula ia diajak Tomang, teman dekatnya,
main judi. Tanpa banyak cukup Paimin menerima tawaran itu. Pada pikirannya,
kalau menang, lumayan bisa tambah modal kawin. Lalu, mereka main judi.
Iming-imingnya benar. Tomang kalah. Bahkan
seluruh barang yang dipakai Tomang ludes. Berpindah tangan ke Paimin. Dengan
bangga Paimin pulang bawa kemenangan. Hatinya sumringah, sebab harapannya
terkabul, diajaknya Fil nonton film di bioskop. Dengan uang itu, ia bisa
honeymoon.
Rupanya kekalahan Tomang berbuntut. Hari
berikutnya Tomang kembali menantang Paimin. Tapi, tantangan itu ditolak dengan
wajah penuh penyesalan. Ia bilang kepada Tomang bahwa Fil tidak mau punya suami
pemain judi. Fil mengancam putus kalau Paimin terus bermain judi. Tomang jadi
berang. Tanpa banyak cakap Tomang meleset pergi. Melihat tingkah Tomang, Paimin
tak ambil pusing. Ia sudah biasa melihat Tomang semacam itu.
Tomang dendam, lalu pasang aksi. "Aku
harus melakukan sesuatu!" Begitu keputusan Tomang. Geram.
Malam itu bulan tak ada. Langit merah. Angin
mendayu-dayu. Tomang beraksi. Ia rampok rumah haji Sukron. Nasib sial menimpa
Tomang. Belum sempat ia bongkar almari, haji Sukron memergokinya. Ia panik, dan
haji Sukron bagai kena sirep. Sekali melompat -- entah sadar atau tidak --
Tomang segera menghujamkan pisaunya ke tubuh haji Sukron. Lalu haji Sukron
mampus setelah sedikit mengerang dan berkolojotan.
Tomang tak menyia-nyiakan kesempatan sebelum
seisi rumah itu bangun. Ia melesat pergi. Ia langsung menuju rumah Paimin.
Begitu sampai, ia segera menyelipkan pisau yang berlumur darah itu ke atas daun
pintu rumah Paimin, kemudian memberi bercak-bercak darah di pintu dan jendela,
ke dinding-dinding. Mengerikan!
Begitulah. Dan, seluruh peristiwa itu
diketahui Paimin justru pada saat ia melangkah ke luar pintu muka bangunan
penjara, ketika ia dinyatakan bebas. Ia beli koran. Bagian terakhir berita
koran itu menyebutkan, Tomang datang sendiri ke kantor polisi dan mengakui
kesalahan segala perbuatannya. Tomang tak betah dibayang-bayangi dosa. Yang
membuat Paimin trenyuh adalah ketika membaca bagian paling akhir berita koran
itu. "Paimin, maafkan aku. Kalau kau mau balas dendam, aku takkan melawan,"
ucap Tomang dalam tulisan itu.
Bola mata Paimin berkaca-kaca. Perkawinan
berlangsung meriah. Paimin dan Fil bahagia. Juga semua orang. Tak ada tanda
yang dapat ditangkap bahwa akan ada peristiwa yang mengerikan. Seusai malam
perkawinan. Di tengah gulita. Di tengah kenyenyakan tidur pengantin baru itu,
telah terjadi suatu peristiwa berdarah, Paimin, suami Fil, mampus.
Adzan shubuh bergema. Seperti biasa Fil
terbangun dari tidurnya. Tapi, begitu ia menengok ke samping, mau memeluk sang
suami, bukan kepalang kagetnya, suami Fil tergeletak. Ususnya berhamburan. Fil
menjerit sekuat tenaga. Juga alam. Histeris.
Sebelum tidur, memang ada percakapan yang
mengasyikkan sepasang pengantin baru itu.
"Kamu bahagia?" tanya Fil lembut.
Paimin mengangguk cepat. "Saya heran, kok yang datang banyak," ucap
Fil lagi. Dan, Paimin hanya mengangkat bahu. "Padahal kita akan hanya
mengundang seratus orang." Lagi, Paimin mengangguk. "Kok bisa
lebih?" tanya Fil.
"Saya hitung ada tiga ratus orang,"
tukas Paimin.
"Gila! Apa mereka kebagian
makanan?"
"Mudah-mudahan."
"Apa mungkin?"
"Namanya saja mudah-mudahan."
Fil tidak berkata lagi, kecuali menghela
napas panjang. Paimin bangkit dari ranjang, lalu berjalan ke dapur. Fil tak
peduli. Dengan sigap Fil membuka kado-kado yang menumpuk di ranjangnya.
Sebuah kado berisi pakaian bayi. Fil asyik
memandanginya. Ia kaget ketika ditegur sekonyong-konyong suaminya yang sudah
berada di mulut pintu kamar. "Kamu mau minta perempuan atau
laki-laki?" Fil hanya tersenyum saja. Lalu, Paimin duduk di ranjang,
berhadapan dengan Fil. Lalu, ikut membukakan kado. Suami Fil agak tersipu
ketika ia temukan benda yang tak asing dalam kado itu.
"Ada
yang aneh?" tanya Fil main-main. Suami Fil mengangguk. "Boleh
lihat?" sambung Fil. Tanpa banyak cakap Paimin segera menyodorkan
bungkusan kado itu. Begitu dibuka, Fil terperanjat. Namun, hal itu hanya
sejenak. Wajahnya berubah malu. Lalu, mereka tak sanggup menahan geli. Dan,
tawa mereka berakhir dengan pelukan Paimin.
"Nggak capek?" tanya Fil lirih.
"Nggak," balas suami Fil semangat.
Lalu, mereka tertawa lagi, dan sekejap tawa mereka berhenti. Malam hanya
tinggal lampu-lampu yang berkelap-kelip dan bulan-bintang yang bergelayutan.
Malam hanya tinggal desir angin. Malam hanya tinggal desah napas. Malam hanya
tinggal.
Begitulah!
Fil menjerit sekuat tenaga. Histeris. Seisi
rumah bangun. Kelabakan. Menyerbu kamar pengantin baru itu. Dan, seisi rumah
itu menjerit histeris.
* * *
Di kursi itu. Di sudut jendela itu. Di sore
itu. Fil menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia merasa seluruh tubuhnya
bergetar. Keringatnya menyembul dari pori-pori kulitnya. Jantungnya berdegup
kencang. Aliran darahnya ngilu, liar, saling tumpang tindih. Fil menjadi lemas.
Ia tidak kuasa menemukan jawaban siapa sebenarnya pembunuh suaminya, Tomang,
atau teman-teman Tomang? Seperti dugaan koran. Tidak mungkin. Tomang telah
menulis pernyataan secara terbuka di koran, dan semua orang pasti baca. Lalu
siapa? Petrus? Tidak mungkin, Paimin bukan penjahat. Paimin tidak pantas untuk
di petrus!
Fil coba bangkit dengan sisa tenaga dan sisa
pertanyaannya, tapi ia tak sanggup. Setahun sudah peristiwa itu, sampai
sekarang tak diketahui ujung pangkalnya. Koran-koran tak lagi memberitakannya.
Fil pun putus asa. Dengan suara terpatah-patah, ia bicara sendirian.
"Kalau memang Engkau ingin mengakhiri sejarah akhirilah."
Dalam keputusannya itu, ada suara yang jatuh
di luar. Fil mengintip dari lubang jendela. Ranting patah yang bergelayutan
itu. Mencium bumi kendati angin tidak ada. Dan begitu Fil memejamkan mata,
matahari sore hilang. Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib. Lagi, entah
sadar atau tidak, Fil berucap, "Ampunilah saya, Tuhan." Fil lalu
berdiri. Dan, ia baru sadar kalau sanggup berdiri.
"Ya, hidup harus dimulai lagi. Cukup
lama saya menghirup bangkai kegelapan, untuk menyingkap alam sebenarnya
pembunuh suami saya. O, saya sia-sia. Dan, sekarang saya tak ingin sia-sia.
Saya harus seperti koran. Perlu diingat pada saat tertentu saja." Begitu
kata hati Fil. Lalu, ia membuka jendela. Lalu, ia berjalan ke sumur. Lalu, ia
mengambil wudhu. Lalu, ia sembahyang. Lalu, ia tidur dengan tenang, seisi rumah
seperti orang gila ketika melihat perubahan Fil.
***